Dua Pasang Hati
A
A
A
Dan setau Lara, harga jas hitam itu pasti mahal banget, kan? Gajinya aja nggak akan cukup buat ganti jas tersebut. ”So-so...ri, Nan. Gue salah sangka... gue pikir lo Ardio.” Lara memalingkan wajahnya, tak enak hati pada cowok itu. ”Udahlah.
Gue males ribut sama lo,” cowok itu berujar pasrah. ”Nan, bajunya biar gue laundry aja, ya? Deket rumah gue ada tempat laundry bagus. Cepet lagi kerjanya,” Lara berusaha memperbaiki kesalahannya. ”Nggak usah. Biar nanti pembantu gue aja yang urus,” suara cowok itu mulai terdengar tenang.
Dia bersiap pergi dari hadapan Lara. Lara berlari kecil, namun karena lantainya sedikit licin, Lara jadi kehilangan keseimbangan dan tak sengaja menubruk Keenan dari belakang. ”Kan bisa manggil gue, nggak usah lari-lari gitu.” Keenan memandang Lara lurus, sambil membalikkan badannya pada Lara. Matanya terlihat khawatir dengan kepala Lara yang barusan kejedut punggungnya.
Kali ini Lara yang susah menahan keinginannya untuk mengecup pipi kiri Keenan. Dengan ekspresi dingin, cowok itu hanya merespon dengan satu kalimat, ”Bibir lo kotor gitu, bisabisanya nyentuh pipi gue.” Lara segera menggosok-gosokkan bibirnya dengan tangan. Apa? Emang ada bekas apa di bibir gue? Alih-alih menanggapi ucapan Keenan, dia malah tersipu-sipu malu.
Keenan menghentikan langkahnya, dan memandang perempuan itu datar. ”Gue harus berangkat kerja. Lo mau jagain apartemen gue?” Cowok itu berkata dari kejauhan. Lara pun dengan cepat menyambar tasnya dan menyusul Keenan. ”Jadi, sekarang lo pindah ke apartemen, Nan?” tanya Lara, ketika mereka sudah berada di mobil. ”Iya. Ada adik gue sih di rumah.
Tapi lebih nyaman di apartemen, deket sama rumah sakit.” ”Oooo...” Entah mengapa hati kecilnya, terusik tentang pengakuan Keenan soal wanita yang menciumnya tadi malam. Kalo benar pacarnya, berarti dia baru aja cium punya orang dong? Tapi kok dia nggak marah ya? Malah cuma ngeledekin.
Tunggu. Apa barusan Keenan bilang, dia punya adik? Lara malah nggak pernah tahu kalau Keenan punya adik. ”Adek lo...? Lo punya adik toh, Nan?” Cowok itu hanya mengangguk saja. Kayaknya irit ngomongnya lagi kambuh nih. ”Eh, Nan... sekarang kayaknya, muka lo udah mulai keliatan lebih muda, deh....” Cowok itu tersenyum simpul, seperti tahu kalo muji-muji gini, ujung-ujungnya nggak enak.
Cowok itu menoleh ke Lara, dan menatap mata indahnya lekat-lekat, ”Mau sarapan apa?” ”Hahahaha. Emangnya, gue mujimuji lo, artinya gue minta makan? Dih, ngaco banget deh lo.”
Selanjutnya Lara nggak bisa nahan wajahnya yang panas dan memerah sejenak. ”Gue nggak bilang gitu. Cuma gue tau aja, isi otak lo apaan sekarang.” Lara tersenyum lagi, nggak tahu nih... alih-alih sebal sama cowok itu, dia malah kesenengan norak seperti ini. ”Minuman yang lo tadi malem minum, kadar alkoholnya berapa sih?” Keenan merasa aneh melihat senyuman yang terus mengembang di bibir Lara.
”Kenapa sih emangnya?” ”Lo dari tadi kayak orang gila, senyum-senyum sendiri.” Cowok itu bergidik ngeri, ”Takut gue deketdeket cewek kayak lo.” ”Ih... nggak gitu...” ”Terus?” ”Ya nggak apa-apa. Senyum aja, kan bagus kalo pagi-pagi senyum, bisa nurunin kadar penuaan dini.” Cowok itu mendengus, ”Sok tau lo, Ra.” ”Eh, bener ya. Orang yang sering ketawa itu awet muda.
Nggak kayak orang yang disamping gue ini...” Lara melirik wajah cowok itu, ”Masih dipasang ketat kayak celana legging.” Sesudahnya Lara tertawa-tawa sendiri. Cowok itu menyentuh dahi Lara, ”Lo sebaiknya ke rumah sakit gue deh, cek kejiwaan. Pagi-pagi gini aneh.” Lara mengacuhkan komentar Keenan, saat lampu merah, perempuan itu malah menolehkan wajah Keenan ke arahya.
Kemudian, ia melengkungkan senyum di bibir Keenan dengan jari telunjuknya. ”Ganteng,” gumam Lara selanjutnya. Keenan dengan cepat menepis jari Lara dari bibirnya. Selanjutnya Lara malah ketawa lagi.
”Ra, bisa nggak sih lo nggak ketawa-tawa gitu?”protes cowok itu dengan wajah datar. ”Nggak...” Lara tersenyum lagi. ”Apa sih yang buat lo seneng pagipagi gini? Nggak ngerti gue, tadi pagi ngamuk-ngamuk ke gue....” (bersambung)
Vania m. Bernadette
Gue males ribut sama lo,” cowok itu berujar pasrah. ”Nan, bajunya biar gue laundry aja, ya? Deket rumah gue ada tempat laundry bagus. Cepet lagi kerjanya,” Lara berusaha memperbaiki kesalahannya. ”Nggak usah. Biar nanti pembantu gue aja yang urus,” suara cowok itu mulai terdengar tenang.
Dia bersiap pergi dari hadapan Lara. Lara berlari kecil, namun karena lantainya sedikit licin, Lara jadi kehilangan keseimbangan dan tak sengaja menubruk Keenan dari belakang. ”Kan bisa manggil gue, nggak usah lari-lari gitu.” Keenan memandang Lara lurus, sambil membalikkan badannya pada Lara. Matanya terlihat khawatir dengan kepala Lara yang barusan kejedut punggungnya.
Kali ini Lara yang susah menahan keinginannya untuk mengecup pipi kiri Keenan. Dengan ekspresi dingin, cowok itu hanya merespon dengan satu kalimat, ”Bibir lo kotor gitu, bisabisanya nyentuh pipi gue.” Lara segera menggosok-gosokkan bibirnya dengan tangan. Apa? Emang ada bekas apa di bibir gue? Alih-alih menanggapi ucapan Keenan, dia malah tersipu-sipu malu.
Keenan menghentikan langkahnya, dan memandang perempuan itu datar. ”Gue harus berangkat kerja. Lo mau jagain apartemen gue?” Cowok itu berkata dari kejauhan. Lara pun dengan cepat menyambar tasnya dan menyusul Keenan. ”Jadi, sekarang lo pindah ke apartemen, Nan?” tanya Lara, ketika mereka sudah berada di mobil. ”Iya. Ada adik gue sih di rumah.
Tapi lebih nyaman di apartemen, deket sama rumah sakit.” ”Oooo...” Entah mengapa hati kecilnya, terusik tentang pengakuan Keenan soal wanita yang menciumnya tadi malam. Kalo benar pacarnya, berarti dia baru aja cium punya orang dong? Tapi kok dia nggak marah ya? Malah cuma ngeledekin.
Tunggu. Apa barusan Keenan bilang, dia punya adik? Lara malah nggak pernah tahu kalau Keenan punya adik. ”Adek lo...? Lo punya adik toh, Nan?” Cowok itu hanya mengangguk saja. Kayaknya irit ngomongnya lagi kambuh nih. ”Eh, Nan... sekarang kayaknya, muka lo udah mulai keliatan lebih muda, deh....” Cowok itu tersenyum simpul, seperti tahu kalo muji-muji gini, ujung-ujungnya nggak enak.
Cowok itu menoleh ke Lara, dan menatap mata indahnya lekat-lekat, ”Mau sarapan apa?” ”Hahahaha. Emangnya, gue mujimuji lo, artinya gue minta makan? Dih, ngaco banget deh lo.”
Selanjutnya Lara nggak bisa nahan wajahnya yang panas dan memerah sejenak. ”Gue nggak bilang gitu. Cuma gue tau aja, isi otak lo apaan sekarang.” Lara tersenyum lagi, nggak tahu nih... alih-alih sebal sama cowok itu, dia malah kesenengan norak seperti ini. ”Minuman yang lo tadi malem minum, kadar alkoholnya berapa sih?” Keenan merasa aneh melihat senyuman yang terus mengembang di bibir Lara.
”Kenapa sih emangnya?” ”Lo dari tadi kayak orang gila, senyum-senyum sendiri.” Cowok itu bergidik ngeri, ”Takut gue deketdeket cewek kayak lo.” ”Ih... nggak gitu...” ”Terus?” ”Ya nggak apa-apa. Senyum aja, kan bagus kalo pagi-pagi senyum, bisa nurunin kadar penuaan dini.” Cowok itu mendengus, ”Sok tau lo, Ra.” ”Eh, bener ya. Orang yang sering ketawa itu awet muda.
Nggak kayak orang yang disamping gue ini...” Lara melirik wajah cowok itu, ”Masih dipasang ketat kayak celana legging.” Sesudahnya Lara tertawa-tawa sendiri. Cowok itu menyentuh dahi Lara, ”Lo sebaiknya ke rumah sakit gue deh, cek kejiwaan. Pagi-pagi gini aneh.” Lara mengacuhkan komentar Keenan, saat lampu merah, perempuan itu malah menolehkan wajah Keenan ke arahya.
Kemudian, ia melengkungkan senyum di bibir Keenan dengan jari telunjuknya. ”Ganteng,” gumam Lara selanjutnya. Keenan dengan cepat menepis jari Lara dari bibirnya. Selanjutnya Lara malah ketawa lagi.
”Ra, bisa nggak sih lo nggak ketawa-tawa gitu?”protes cowok itu dengan wajah datar. ”Nggak...” Lara tersenyum lagi. ”Apa sih yang buat lo seneng pagipagi gini? Nggak ngerti gue, tadi pagi ngamuk-ngamuk ke gue....” (bersambung)
Vania m. Bernadette
(ars)